Datang Lebih Awal 3 Jam, Wartawan Ini Malah Ketipu Narasumber Misterius

Ilustrasi Nawawi
Kisah sekelompok wartawan yang rela menunggu narasumber misterius yang tak kunjung datang.
0 Komentar

Hingga akhirnya, Didin memecahkan keheningan dengan cara simpel namun heroik:

Ia memesan segelas teh manis untuk seluruh wartawan yang hadir dan langsung membayarnya sendiri. Bukan Adang. Bukan pengundang. Bukan yang merasa paling tahu narasumber.

Didin-lah yang akhirnya menanggung “kerugian cair” pertama pada hari itu.

Minuman datang. Gelas-gelas disajikan. Namun jawaban atas siapa narasumber itu dan kenapa tidak datang tetap tidak muncul.

Pelan-Pelan Kecurigaan Muncul

Baca Juga:Tak Banyak yang Tahu, Begini Cara Jurnalis Lakukan Self-Healing untuk Hilangkan Kepenatan Pacsa DeadlineDiduga Lakukan Pungli Dana BOS SD, 3 Pejabat Disdik Kabupaten Cirebon Dilaporkan ke Polisi

Seiring gelas teh yang perlahan habis, pembahasan tentang narasumber semakin mengarah ke arah yang sama: kecurigaan.

Wartawan mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kenapa Adang tidak memberikan detail? Kenapa ia sendiri tidak mengenal narasumbernya?

Kenapa ia begitu yakin, padahal dasar informasinya hanya telepon dari orang asing?

Pertanyaan demi pertanyaan mengarah ke Adang. Dan seolah terdesak oleh serangan rasa penasaran kolektif itu, Adang tampak mulai gelisah.

Ia mencoba tersenyum, namun senyum itu tidak bulat. Ia mencoba menjawab, tetapi jawabannya setengah-setengah.

Hingga akhirnya, ketika situasi semakin tajam ke arahnya, Adang mengambil keputusan paling mengejutkan: Ia pergi lebih dulu.

Ya, Adang meninggalkan para wartawan yang ia undang. Pergi begitu saja.

Baca Juga:Pemuda Cirebon Timur Pasang Spanduk Tuntut Transparansi Aktivitas Gedung Ini di CiledugDiduga Ada Praktik Monopoli Limbah oleh Perusahaan di Pabrik Sepatu Cirebon Timur, Hamzaiya Angkat Bicara

Tanpa meminta izin dengan cara yang pantas. Tanpa memberikan penjelasan yang memadai.

Sebelum pergi, ia hanya sempat melontarkan satu kalimat yang membuat beberapa wartawan saling pandang dan tertawa hambar:

“Ini saya rugi.” Rugi?

Padahal tidak ada uang yang keluar sedikit pun dari kantong Adang.

Tidak ada minuman yang ia bayar. Tidak ada makanan yang ia traktir.

Justru wartawan lain yang harus merogoh kocek.

Rugi? Mungkin rugi secara batin. Atau rugi gengsi. Atau rugi karena harus menghadapi tatapan-tatapan kecewa para wartawan yang terlanjur ia undang.

Kekecewaan Kolektif yang Berujung Humor Pahit

Kepergian Adang membuat suasana berubah. Beberapa wartawan yang masih duduk terdiam mulai tertawa kecil. Bukan karena lucu, tetapi karena kesal yang sudah mulai tercampur humor.

Mereka dikerjain. Mereka dibohongi, atau setidaknya diseret dalam kesalahpahaman besar. Mereka datang tepat waktu bahkan ada yang datang lebih awal. Namun narasumber yang dimaksud Adang tidak muncul juga.

0 Komentar